Fenomena remaja yang suka kebut-kebutan motor misalnya dengan motor Honda Genio di jalan sudah bukan hal baru. Hampir setiap malam, terutama di kota-kota besar, kita bisa melihat kelompok remaja yang memacu kendaraan mereka seolah jalanan adalah lintasan balap. Bagi sebagian orang, aksi ini terlihat seperti bentuk kenakalan, tapi dibalik itu sebenarnya terdapat faktor sosial, psikologis, dan budaya yang mendorong perilaku tersebut.
Kebut-kebutan sering dipandang sebagai cara untuk menunjukkan eksistensi diri dan keberanian. Masa remaja adalah fase pencarian jati diri, di mana seseorang ingin diakui oleh teman sebayanya. Dengan mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, mereka merasa bisa menunjukkan keberanian, kebebasan, dan kekuatan. Aksi kebut-kebutan dianggap sebagai simbol kejantanan atau “keren” di lingkungan tertentu.
Namun sayangnya, pemikiran seperti ini sering menjerumuskan mereka ke perilaku berisiko tinggi. Remaja belum sepenuhnya matang dalam hal pengendalian emosi dan pengambilan keputusan, sementara adrenalin mereka sangat tinggi. Saat memacu gas di jalan raya, yang dirasakan hanyalah kesenangan sesaat, tanpa mempertimbangkan bahaya bagi diri sendiri maupun orang lain.
Selain faktor psikologis, lingkungan sosial juga berperan besar. Tidak sedikit remaja yang ikut-ikutan karena tekanan teman sebaya atau sekadar ingin diterima dalam kelompok. Di beberapa daerah, komunitas kebut-kebutan bahkan menjadi semacam ajang sosial. Remaja yang tidak ikut sering dianggap “penakut” atau “tidak gaul.” Padahal, keberanian sejati bukan diukur dari seberapa cepat seseorang memacu motor, melainkan dari kemampuan untuk berkata tidak pada hal yang berbahaya.
Ada pula pengaruh dari media sosial dan budaya pop. Banyak konten di internet yang menampilkan aksi motor cepat, modifikasi ekstrem, atau balapan liar tanpa menampilkan sisi negatifnya. Remaja yang gemar menonton konten semacam itu bisa terdorong untuk meniru demi mendapatkan pengakuan atau likes di media sosial. Padahal, jalan raya bukan tempat untuk unjuk kemampuan kecepatan.
Peran keluarga juga tidak bisa diabaikan. Beberapa orang tua memberikan kebebasan penuh pada anaknya untuk membawa motor, bahkan sebelum usia cukup. Ada pula yang tidak memberikan pendidikan tentang etika dan keselamatan berkendara. Padahal, mendidik anak untuk memahami tanggung jawab dibalik stang motor sama pentingnya dengan mengajarkan cara mengendarainya.
Padahal, banyak motor yang sebenarnya dirancang bukan untuk balapan, melainkan untuk kenyamanan dan efisiensi berkendara. Contohnya, Honda Genio, motor bergaya modern dan ringkas yang sangat populer di kalangan anak muda. Desainnya ringan, irit bahan bakar, dan cocok untuk mobilitas harian di perkotaan. Namun sayangnya, sebagian remaja masih salah kaprah, menganggap motor apa pun bisa dijadikan ajang untuk balapan, padahal setiap motor punya fungsi dan batas kemampuan berbeda.
Kebut-kebutan dengan motor seperti Honda Genio atau motor jenis lainnya tidak hanya berisiko merusak kendaraan, tetapi juga mengancam keselamatan diri sendiri dan pengguna jalan lain. Menurut data kepolisian, mayoritas kecelakaan lalu lintas di Indonesia melibatkan pengendara usia muda, dan banyak di antaranya disebabkan oleh kecepatan berlebih. Ironisnya, kebanyakan dari kecelakaan itu terjadi di jalan umum, bukan di sirkuit.
Untuk mengatasi fenomena ini, dibutuhkan pendekatan yang lebih empatik dan edukatif. Remaja perlu diberikan wadah positif untuk menyalurkan energinya, seperti kegiatan otomotif legal di sirkuit, edukasi keselamatan berkendara, atau komunitas motor yang berorientasi pada keselamatan. Pemerintah, sekolah, dan orang tua harus bekerja sama menanamkan pemahaman bahwa keselamatan jauh lebih penting daripada gengsi.
Selain itu, penting juga menanamkan nilai bahwa motor adalah alat transportasi, bukan alat pembuktian diri. Remaja bisa tetap terlihat keren dan percaya diri tanpa harus berisiko di jalan raya. Dengan kendaraan seperti Honda Genio, yang tampil stylish namun tetap mengutamakan keamanan, anak muda bisa menunjukkan jati diri yang positif, bukan dengan kebut-kebutan, tapi dengan berkendara tertib dan bertanggung jawab.
Jadi, jika kita bertanya kenapa anak-anak remaja suka kebut-kebutan, jawabannya bukan sekadar “karena nakal.” Mereka mencari pengakuan, kebebasan, dan identitas. Namun tugas kita sebagai orang dewasa, pendidik, atau bahkan sesama pengendara adalah membantu mereka memahami bahwa nyawa jauh lebih berharga daripada sekadar terlihat berani di jalanan.